Putu Wijaya adalah seorang sastrawan
yang terkenal di Indonesia, beliau lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali pada 11
April 1944. Beliau sudah menunjukkan kegemarannya pada dunia sastra sejak beliau masih
remaja. Saat masih duduk di sekolah menengah pertama di Bali, beliau sudah
mulai menulis cerita-cerita pendek dan beberapa di antaranya dimuat di dalam
Harian Suluh Indonesia, Bali. Ketika duduk di sekolah menengah atas, beliau
memperluas wawasannya dengan mengikuti kegiatan sandiwara. Setelah selesai
menamatkan sekolah menengah atas, beliau melanjutkan kuliah di Universitas Gadjah
Mada (UGM) fakultas hukum dan berhasil mendapatkan gelarnya pada tahun 1969.
Setelah lama di Yogyakarta dan kuliah
pun telah selesai, akhirnya beliau pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai
redaktur majalah Ekspress. Setelah majalah itu mati, beliau menjadi redaktur di
majalah Tempo. Beliau juga pernah mendirikan Teater Mandiri bersama rekan-rekan di majalah tempo pada
tahun 1974. Terakhir pada tahun 1979 beliau juga pernah menjadi redaktur
majalah Zaman.
Itulah biografi singkat Putu Wijaya,
dalam kritik sastra kali ini saya akan mencoba mengulas tentang cerpen yang
berjudul “Peradilan Rakyat” karya Putu Wijaya dengan pendekatan ekspresif.
Pendekatan ini saya gunakan karena dalam cerpen ini menurut saya Putu Wijaya
mampu mengekspresikan dirinya kedalam tokoh cerpen yang beliau buat.
Seperti
kutipan cerpen di bawah ini:
(1)
“Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena
pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya
pencarian keadilan yang kalau perlu dingin dan beku. Tapi negara terus juga
mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai
berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi
yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah
memainkan sandiwara.”
(2)
"jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan
membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam
doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai
suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan
ucapannya dengan lebih tenang.
Putu Wijaya, mampu mengekspresikan dengan baik. Negara
sebagai wujud teater, suatu pertunjukan sandiwara. Hal ini pula
dilatarbelakangi oleh profesi penulis yang pernah menjabat sebagai Pimpinan
Teater Mandiri, pada tahun 1974. Selanjutnya pada kutipan yang kedua penulis
mampu menggunakan bahasa-bahasa kiasan yang berupakan bagian dari dunia sastra,
dimana Beliau pernah menunjukkan kegemarannya pada dunia sastra sejak beliau
masih remaja.
Berikutnya
pada kutipan cerpen dibawah ini:
Pengacara
muda sekarang menarik napas panjang.
(1)
“Ya aku
menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak
bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku
sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan
keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga
tercapai keputusan yang seadil-adilnya.”
(2)
“Tidak
ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati
apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar
mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan
masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan
proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
(3)
"Sudah
bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca
walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena
soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini." Pengacara muda
itu tertawa kecil.
Dari berbagai kutipan di atas Penulis mampu mengekspresikan
diri seorang pengacara muda, yang profesional, dan cerdas. Hal tersebut pula
didasari, bahwa penulis juga seorang mahasiswa Fakultas Hukum UGM 1968.
Selanjutnya
pada kutipan cerpen dibawah ini:
(1)
“Tidak
seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti
para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun
menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak
keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya.”
(2)
“Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di
pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa
terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam
suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun
marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu
dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan
dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya
baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus
mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.”
Penulis mampu mengkritisi pemerintahan, dan memaparkan
pandangannya pada pemerintahan. Wujud dari ekspresi terhadap situasi dan
keadaan yang terjadi dimasyarakat, hal ini didasari oleh profesi Penulis yang
pernah menjadi redaktur di berbagai media cetak. Seperti majalah Ekspress,
majalah tempo, dan majalah zaman.
Itulah beberapa kutipan cerpen yang
bisa saya kaitan dengan kehidupan si penulis. Ternyata cerpen tersebut bisa
kita kritik melalui pendekatan ekspresif.
*bagian
tugas mata kuliah menulis kritik dan essai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar