Selasa, 02 Mei 2017

Kritik Sastra dalam Kajian Ekspresif Cerpen " Peradilan Rakyat" Karya Putu Wijaya



Putu Wijaya adalah seorang sastrawan yang terkenal di Indonesia, beliau lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali pada 11 April 1944. Beliau sudah menunjukkan kegemarannya pada dunia sastra sejak beliau masih remaja. Saat masih duduk di sekolah menengah pertama di Bali, beliau sudah mulai menulis cerita-cerita pendek dan beberapa di antaranya dimuat di dalam Harian Suluh Indonesia, Bali. Ketika duduk di sekolah menengah atas, beliau memperluas wawasannya dengan mengikuti kegiatan sandiwara. Setelah selesai menamatkan sekolah menengah atas, beliau melanjutkan kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) fakultas hukum dan berhasil mendapatkan gelarnya pada tahun 1969.
Setelah lama di Yogyakarta dan kuliah pun telah selesai, akhirnya beliau pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai redaktur majalah Ekspress. Setelah majalah itu mati, beliau menjadi redaktur di majalah Tempo. Beliau juga pernah mendirikan Teater Mandiri  bersama rekan-rekan di majalah tempo pada tahun 1974. Terakhir pada tahun 1979 beliau juga pernah menjadi redaktur majalah Zaman.
Itulah biografi singkat Putu Wijaya, dalam kritik sastra kali ini saya akan mencoba mengulas tentang cerpen yang berjudul “Peradilan Rakyat” karya Putu Wijaya dengan pendekatan ekspresif. Pendekatan ini saya gunakan karena dalam cerpen ini menurut saya Putu Wijaya mampu mengekspresikan dirinya kedalam tokoh cerpen yang beliau buat.

Seperti kutipan cerpen di bawah ini:
(1)    “Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin dan beku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara.”

(2)   "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini." Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

Putu Wijaya, mampu mengekspresikan dengan baik. Negara sebagai wujud teater, suatu pertunjukan sandiwara. Hal ini pula dilatarbelakangi oleh profesi penulis yang pernah menjabat sebagai Pimpinan Teater Mandiri, pada tahun 1974. Selanjutnya pada kutipan yang kedua penulis mampu menggunakan bahasa-bahasa kiasan yang berupakan bagian dari dunia sastra, dimana Beliau pernah menunjukkan kegemarannya pada dunia sastra sejak beliau masih remaja.

Berikutnya pada kutipan cerpen dibawah ini:
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
(1)   Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya.

(2)   “Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."

(3)   "Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini." Pengacara muda itu tertawa kecil.

Dari berbagai kutipan di atas Penulis mampu mengekspresikan diri seorang pengacara muda, yang profesional, dan cerdas. Hal tersebut pula didasari, bahwa penulis juga seorang mahasiswa Fakultas Hukum UGM 1968.

Selanjutnya pada kutipan cerpen dibawah ini:
(1)   “Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya.”

(2)   “Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.”

Penulis mampu mengkritisi pemerintahan, dan memaparkan pandangannya pada pemerintahan. Wujud dari ekspresi terhadap situasi dan keadaan yang terjadi dimasyarakat, hal ini didasari oleh profesi Penulis yang pernah menjadi redaktur di berbagai media cetak. Seperti majalah Ekspress, majalah tempo, dan majalah zaman.
            Itulah beberapa kutipan cerpen yang bisa saya kaitan dengan kehidupan si penulis. Ternyata cerpen tersebut bisa kita kritik melalui pendekatan ekspresif.

*bagian tugas mata kuliah menulis kritik dan essai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar