Tugas Kelompok Dosen Pembimbing:
Menulis Kritik dan Esai Elvrin Septyanti, S.Pd., M.Pd.
Menulis Kritik dan Esai Melalui
Pendekatan Mimetik
Oleh kelompok 7:
1.
Adib Alfalah (
1505114712 )
2.
Ulfa Wahyuni (
1505116726 )
3.
Nurul Huda Lestari ( 1505117003 )
4.
Fatia Roifah
( 1505120479 )
5.
Nurzakiah
( 1505121829 )
6.
Rapikawati ( 1505122006 )
7.
Warmida
Indri ( 1505122475
)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2017
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama
nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Menulis Kritik dan Esai Melalui Pendekatan Mimetik”. Kemudian shalawat beserta salam kita
sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman
hidup yakni al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Makalah ini
merupakan salah satu tugas mata kuliah Menulis Kritik dan Esai di program studi
Bahasa Indonesia Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan pada Universitas Riau. Selanjutnya penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak atau ibu selaku
dosen pembimbing mata kuliah Menulis Kritik dan Esai dan kepada segenap pihak
yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis
menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah
ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari
para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Pekanbaru, 02 Mei
2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................i
DAFTAR ISI .......................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan
........................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................3
2.1 Pengertian Teori Mimetik.......................................................3
2.2 Contoh Esai.............................................................................5
2.3 Kritik Mimetik Terhadap Cerpen
“Cinta Lak-laki Biasa”
Karya Asma Nadia................................................................. .6
BAB III PENUTUP ...........................................................................18
3.1 Simpulan ................................................................................18
3.2 Saran ..................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................
20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kritik merupakan
salah satu dari cabang ilmu sastra. Kritik sastramenganalisis teks karya sastra
itu sendiri. Kritik dapat diterapkan pada semua bentuk karya sastra, baik yang
berupa puisi, prosa maupun drama. Kritik adalahkarangan yang menguraikan
tentang pertimbangan baik atau buruk suatu karyasastra. Kritik biasanya
diakhiri dengan kesimpulan analisis . Tujuan kritik bukan hanya menunjukkan
keunggulan, kelemahan,kebenaran, dan kesalahan sebuah karya sastra berdasarkan
sudut tertentu, tetapimendorong sastrawan untuk mencapai penciptaan sastra
tertinggi dan untuk mengapresiasi karya sastra secara lebih baik. Tugas kritik
sastra adalahmenganalisis, menafsirkan, dan menilai suatu karya sastra .
Kehadiran kritik sastraakan membuat sastra yang dihasilkan berikutnya menjadi
lebih baik dan berbobotkarena kritik sastra akan menunjukkan kekurangan
sekaligus memberikan perbaikan.
Esai
adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari
sudut pandang pribadi penulisnya. Pengarang esai disebut esai. Esai sebagai
satu bentuk karangan dapat bersifat informal dan formal. Esai informal
mempergunakan bahasa percakapan, dengan bentuk sapaan saya dan seolah-olah ia
berbicara langsung dengan pembaca. Adapun esai yang formal pendekatannya
serius. Pengarang mempergunakan semua persyaratan penulisan.
Pendekatan
mimetik adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra berupa memahami
hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Kata mimetik berasal dari
kata mimesis (bahasa Yunani) yang berarti tiruan. Dalam pendekatan ini karya
sastra dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan (Abrams, 1981). Untuk dapat
menerapkannya dalam kajian sastra, dibutuhkan data-data yang berhubungan dengan
realitas yang ada di luar karya sastra. Biasanya berupa latar belakang atau
sumber penciptaa karya sastra yang akan dikaji. Misal novel tahun 1920-an yang
banyak bercerita tentang "kawin" paksa. Maka dibutuhkan sumber dan
budaya pada tahun tersebut yang berupa latar belakang sumber penciptaannya.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Teori Mimetik
?
2.
Bagaimana Contoh Esai ?
3.
Bagaimana Kritik Mimetik Terhadap
Cerpen “Cinta Lak-laki Biasa” Karya Asma Nadia ?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Mendeskripsikan Pengertian Teori
Mimetik
2.
Mendeskripsikan Contoh Esai
3.
Mendeskripsikan Kritik Mimetik
Terhadap Cerpen “Cinta Lak-laki Biasa” Karya Asma Nadia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Teori Mimetik
Jika kita berbicara
tentang teori Mimetik, kita tidak dapat terlepas dari pengaruh dua orang filsuf
besar dari Yunani, yaitu Plato dan Aristoteles. Plato menganggap bahwa karya
seni berada di bawah kenyataan karena hanya berupa tiruan dari tiruan yang ada
dipikiran manusia yang meniru kenyataan. Sementara, Aristoteles sebagai murid
dari Plato berbeda pendapat. Aristoteles menganggap karya seni adalah berada di
atas kenyataan karena karya seni sebagai katalisator untuk menyucikan jiwa
manusia.
Menurut Abrams
(1976), Pendekatan Mimetik merupakan pendekatan estetis yang paling primitif.
Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Menurut
Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman yaitu karya sastra itu
sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya
sebagai peniruan. Secara hierarkis dengan demikian karya seni berada di bawah
kenyataan. Pandangan ini ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa
karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia, sebagai katharsis. Di samping itu
juga karya seni berusaha membangun dunianya sendiri (Ratna, 2011: 70).
Pandangan Plato
mengenai mimetik sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep ide-ide
yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni. Plato
menganggap ide yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang
sempurna dan tidak dapat berubah. Ide merupakan dunia ide yang terdapat pada
manusia. Ide oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio, tidak mungkin
untuk dilihat atau disentuh dengan pancaindra. Ide bagi Plato adalah hal yang
tetap atau tidak dapat berubah, misalnya ide mengenai bentuk segitiga, ia hanya
satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dari
kayu dengan jumlah lebih dari satu. Ide mengenai segitiga tersebut tidak dapat
berubah, tetapi segitiga yang terbuat dari kayu bisa berubah (Bertnens, 1979:
13).
Berdasarkan
pandangan Plato mengenai konsep ide tersebut, Plato sangat memandang rendah
seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republic bagian kesepuluh.
Bahkan, ia mengusir seniman dan sastrawan dari negerinya karena menganggap
seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena. Mereka dianggap hanya akan
meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimetik yang
dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang
kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’. Seluruh barang yang dihasilkan
manusia menurut Plato hanya merupakan copy dari ide, sehingga barang tersebut
tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam ide-ide mengenai barang
tersebut). Bagi Plato seorang tukang lebih mulia dari pada seniman atau
penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari, dan lain sebagainya
mampu menghadirkan ide ke dalam bentuk yang dapat disentuh pancaindra.
Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat disentuh
pancaindra (seperti yang dihasilkan tukang), Mereka oleh Plato hanya dianggap
menjiplak dari jiplakan (Luxemberg, 1989: 16).
Menurut Plato
mimetik hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi
sungguhan, mimetik hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimetik
yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung
terhadap dunia ide (Teew, 1984: 220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa
seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti
yang telah disebutkan di muka. Bahkan, seperti yang telah dijelaskan di muka,
Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau
emosi, bukan rasio (Teew, 1984: 221).
2.2
Contoh Esai
Generasi Baru Antikorupsi
Indonesia adalah
negara yang agraris dan salah satu negara yang memiliki kekayaan alam yang
melimpah. Pada dasarnya banyak hasil bumi yang dapat digunakan untuk memajukan
dan membuat Indonesia menjadi negara yang berkembang dan mandiri. Keadaan ini
belum tentu di miliki oleh negara lain. cukup membagakan bukan?
Namun begitu, ada
hal dimana justru sangat disayangkan. Kendati bangsa Indonesia sangat kaya akan
hasil buminya, namun sebagian besar rakyatnya justru hidup dalam kemiskinan dan
jauh dari taraf kesejahteraan. Masih banyak rakyat Indonesia yang putus
sekolah, pengangguran, dan pengobatan, serta tempat tinggal yang tidak layak.
Negara yang kaya hasil buminya justru menjadi negara yang tertinggal dari
negara-negara tetangga. Kondisi ini akan terus terjadi jika Indonesia masih
terus mengimpor bahan pangan dari mereka.
Menyedihkan dan
miris memang mendengarnya. Namun ini seakan jadi fenomena yang sudah tidak
asing lagi bagi rakyat Indonesia. jadi, wajar jika ada pertanyaan apa yang
terjadi sebenarnya? Banyak faktor yang dapat menyebabkan rakyat menjadi
sengsara di tengah kekayaan alam Indonesia. salah satunya adalah pengelolaan
negara yang masih keliru atau bahkan salah. Contoh kesalahan yang terjadi di
dalam pengelolaan negara adalah adanya korupsi yang ada hampir di setiap
bidang.
Korupsi bukan lagi
masalah yang wah, melainkan sudah seperti makanan sehari-hari. Terbukti dari
setiap tayangan televisi pasti ada saja orang pemerintahan yang melakukan
korupsi. Jika saja dilakukan survey, pastilah banyak masyarakat yang muak,
bosan, dan eneg mendengar kata korupsi yang ada di negara ini. Mungkin itu
alasan mengapa masyarakat Indonedia terkadang hanya diam saja.
Terlalu banyaknya
kasus korupsi yang ada di Indonesia, membuat Indonesia terkesan tidak pernah
serius dalam menangani setiap kasus yang ada. Seperti tidak ada hukum yang pas
untuk membuat jera pada pelakunya. Terkadang, muncul kesan negara adalah surga
bagi para koruptor. Entah yang salah moral pelakunya atau memang hukum kita
yang kurang tegas. Hal itu menyebabkan banyak koruptor yang justru sepeti tidak
merasa bersalah melakukan korupsi. Ada juga yang justru melambaikan dan senyum
ketika diintrogasi polisi. Mereka seharusnya malu karena melakukan hal yang
memalukan untuk dirinya sendiri, keluarga dan bangsanya sendiri.
Melihat semua
masalah korupsi yang di Indonesia, negara tercinta kita masihkah kita diam
saja? Masihkan kita menyerahkan sepenuhnya kasus-kasus korupsi ini kepada pihak
yang sama? Tidak! Kita tidak boleh lagi diam, kita generasi baru penerus
bangsa. sudah saatnya kita bangkit dengan gerakan antikorupsi. Kita bersama
membantu pihak-pihak yang berwenang untuk membabat habis para koruptor. Kita
bisa ikut mengawasi dan melaporkan di mana saja kita melihat atau menemukan
tanda-tanda atau justru tindakan koruptor. Sudah saatnya kita bertanya kepada
diri kita sendiri “ apa yang sudah kita berikan untuk Indonesia? sudahkah kita
turut serta membantu pemberantasan korupsi? Karena untuk bisa memutus tali
korupsi dapat dimulai dari diri sendiri. Dengan menjadi pribadi yang bersih,
jujur, dan berkarakter antikorupsi, kita percaya pasti koruptor akan semakin
berkurang dan lama-lama akan menghilang. Saatnya memulai dari hal yang kecil
untuk hasil yang besar.
2.3 Kritik Mimetik Terhadap Cerpen “Cinta
Lak-laki Biasa” Karya Asma Nadia
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan
kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang,
hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan
semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama,
kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.
Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat
undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin
menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus
sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar
bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg
barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua
menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas,
mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban,
alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi
kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak
gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan
Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena
semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah
berkeluarga membawa serta buntut mereka.
Kamu pasti bercanda!
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah
kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir
dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira
Nania bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita
melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang
melamarnya.
Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani
melamar anak Papa yang paling cantik!
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan
adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu
berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik
seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif
bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja
boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
Nania terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari
ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris,
juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar
insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan
laki-laki manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi,
Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian
mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata
mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak
menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
Tapi kenapa?
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan
pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat
biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi
parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal
hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat
pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela
Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya.
Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar
biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania
menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di
sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering
berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli.
Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli
agar tampak di mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania
bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia
meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka
terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak
hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan
punya kehidupan sukses!
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali
ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya,
bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan,
kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik
mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga
berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki
dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah
mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari
cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya
untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika
digabungkan dengan gaji Abang.
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir
sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..
Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi
Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik
menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga
biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji
yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia,
alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor
semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak
pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu
berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan
mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik
saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih,
tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan
perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser
dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama
kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania
menangis.
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari
waktunya.
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera
dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam
rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu
merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan
jam, mereka akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah
sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar
mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta
orangtua Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam
setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa
sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi
pembukaan berjalan lambat sekali.
Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam
kemudian menyemaikan harapan.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka
sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah,
didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran
akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa
sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin
payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau
begitu?
Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia
senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar
operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih.
Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan
dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang
diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga
perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan
langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa
menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna
merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana
pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama
sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua
mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu
tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh
darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik
dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga
anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh
menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari,
mereka sudah oleh membawanya pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui
Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si
kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania
dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit,
kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat
Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap
kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya
sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang
ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili
mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan
bercanda mesra.
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan
kehadirannya.
Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium
tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis
dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah
sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang
lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya
dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak
bosan-bosannya berbisik,
Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan
permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa
melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang
menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak
merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya
yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa
makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu
di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di
wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar
dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan
Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan
airmata yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali
dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun
terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah
satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju
rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku
Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur.
Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia
ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak
perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal
lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah
perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga
jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja,
makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut.
Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan
Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan
orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada
Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan
senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang
ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak
puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua
berbisik-bisik.
Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!
Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana
suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang,
Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin
frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian.
Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya
akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket
dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak
permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung
semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati,
kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak
berfungsisempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir
telah direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki
biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..
Kritik mimetik dalam cerpen cinta laki-laki biasa karya
Asma Nadia
Cerpen berjudul cinta
laki-laki biasa ini menceritakan suatu kisah yang sangat sering terjadi pada
kehidupan pernikahan sepasang kekasih. Bisa saja cerita yang diangkat Asma
Nadia ini sudah banyak terjadi di masa lampau, masa sekarang dan bahkan sangat
ada kemungkinan akan banyak terjadi pada masa yang akan datang. Karena kisah
pernikahan seperti yang diceritakan dalam cerpen ini adalah contoh realita
kehidupan yang benar-benar fakta sering di alami pasangan dalam kehidupan rumah
tangga mereka. Penulis mengangkat cerita umum yang mungkin menjadi keresahan
banyak wanita dalam mencari laki-laki untuk dijadikan pasangan hidupnya.
Menurut saya penulis dalam cerita ini juga ingin menyampaikan pemikirannya yang tidak setuju terhadap
pandangan-pandangan banyak masyarakat ketika melihat sepasang suami istri
menikah dan jika derajat seorang wanita lebih tinggi dari pada derajat seorang
laki-laki maka seorang laki-laki itu diangggap tidak pantas dan tidak berhak
menikahi wanitanya.
Dalam pandangan masyarakat
dari dahulu sampai sekarang atau bahkan sampai ke masa depan nantinya bahwa
dalam pernikahan haruslah derajat laki-laki lebih tinggi dari derajat
perempuan. Dari realita kehidupan yang terjadi di masyarakat sekarang ini,
penulis ingin menyampaikan bahwa konsep pernikahan seperti itu terlalu mengarah
pada konsep pernikahan yang hanya memendang harta adalah modal utama dalam
pernikahan. Penulis ingin membantah pandangan tersebut, bahwa pernikahan bukan
hanya bermodalkan harta, tapi dengan cinta yang setia dan berlandaskan agama
maka pernikahan juga akan bisa mambawa pada rumah tangga yang sejahtera dan
bahagia. Masyarakat percaya bahwa jika laki-laki derajatnya di bawah derajat
perempuan maka pernikahan itu tidak akan sejahtera dan tidak akan bahagia,
penulis tidak setuju dengan itu, karena penikahan yang seperti itu adalah
pernikahan yang hanya memandang bahagia itu akan tercipta jika memiliki harta
yang banyak saja, tetapi bahagia itu bisa tercipta jika dengan cinta yang
setia.
Jadi dalam cerpen ini
penulis ingin menyampaikan pemikirannya yang berbeda dengan pemikiran-pemikiran
masyarakat. Cerpen ini juga bisa memberikan motivasi-motivasi pada pasangan
kekasih yang ingin melanjutkan ke jenjang pernikahan dan sangat cocok dibaca
masyarakat pada masa sekarang.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Berdasarkan makalah
yang telah kami buat dapat disimpulkan bahwa Esai adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari
sudut pandang pribadi penulisnya. Pengarang esai disebut esais. Esai sebagai
satu bentuk karangan dapat bersifat informal dan formal sedangkan Kritik adalah
kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik
buruk terhadap sesuatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.
Esai sastra, dengan demikian, bagian dari kritik
sastra yang memunyai ciri dan karakteristik sendiri. Hal ini dimaksudkan agar
kita dapat membedakan yang mana kritik dan yang mana esai sastra, ketika kita
membutuhkan referensi untuk kepentingan penelitian ataupun penambah wawasan
dalam mengasah karya esai kita. Dalam hal ini esai sastra hanya bersifat
mengemukakan masalah atau persoalan kepada khalayak ramai, dan bagaimana
penyelesaian tersebut terarah kepada pembaca. Sedangkan kritik sastra adalah
penilaian terhadap suatu karya sastra melalui proses dengan menggunakan
kriteria tertentu.
Esai sastra
mempunyai persamaan yang erat dengan kritik sastra teoretis, yang banyak
membicarakan tentang konsep, teori, dan
metodologi. Dengan begitu, yang membedakan esai dengan kritik adalah: esei
sastra merupakan telah sastra yang menyangkut aspek teorotis sedangkan kritik
sastra menyangkut telaahan dan praktis. Tegasnya, esei sastra menyaangkut
bahasan tentang sejarah, teori sastra, sastra bandingan, proses kreatif,
konsepsi estetik, periodisasi, dan lain. Didalam sebuah esei, sedikit banyaknya
aktivitas kritik seperti aspek penghayatan, pengapresiasian, penganalisisan,
dan penilaian juga dilakukan tetapi sacara umum dengan lebih menitikberatkan
perhatian kepada nilai akademik atau teorotisnya. Sebenarnya, apa saja yang
dibicarakan tentang sastra boleh dinamakan esai sastra.
Memberikan kritik dan esai dapat bermanfaat untuk memberikan
panduan yang memadai kepada pembaca tentang kualitas sebuah karya. Di samping
itu, penulis karya tersebut akan memperoleh masukan, terutama tentang
kelemahannya.
3.2
Saran
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan dapat
menjadi referensi bagi para pembaca dalam penulisan esai dan kritik dengan baik
dan benar. Selain itu, saran dan kritik dari para pembaca juga sangat
dibutuhkan demi perkembangan bahasan makalah ini selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Elmustian,rahman dan abdul,jalil.2004.Teori Sastra.Universitas Riau:Labor Bahasa,Sastra, dan Jurnalistik.